SURABAYA-SUARA PEREMPUAN: Sudah menjadi sebuah ketentuan dalam memahami sebuah pokok perkara idealnya tak hanya berasal dari satu sumber saja. Era kini, ditengah hiruk pikuk glamornya kegiatan akitivisme, berkembanglah ideologi lama yang bangkit kembali yakni feminisme. Memahami feminisme tentu tak hanya cukup sekadar dari wacana yang berkembang sebatas dalam sebuah tajuk diskusi ataupun pembahasan fana sosial media.
Sebagai pengantar secara sederhana saja, gerakan feminisme telah dimulai sejak abad ke-18, lantas berkembang pesat sepanjang abad-20. Berawal penyuaraan persamaan hak politik bagi perempuan, gerakan ini menemukan momentum peregrakannya tatkala muncul sebuah karya dari Mary Wollstonesraft yang berjudul A Vindication of The Rights of Women, tulisan ini dianggap sebagai salah satu karya feminis yang berisi kritik terhadap Revolusi Perancis terkait, hanya berlakunya seorang laki-laki dalam tatanan monarki absolute kekuasaan politik.
Meski bersifat pluralistic, pemersatu pendapat feminis adalah keyakinan mereka bahwa masyarakat dan tatanan hukum pada saat itu bersifat patriarki. Aturan yang dikatakan netral dan obyektif, acapkali hanya sebuah kedok terhadap pertimbangan politis dan social yang dinahkodai oleh ideologi pembuat keputusan, namun pada praktiknya ideologi tersebut tidak sama sekali untuk kepentingan perempuan.
Perkembangan pada masyarakat di tingkat grassroot, pemahaman patriarki dalam penerapan dan ketentuan hukumnya merupakan penyebab timbulnya ketidakadilan, dominasi, dan subordinasi terhadap perempuan. Sehingga, sebagai konsekuensinya adalah lahirnya tuntutan terhadap kesederajatan gender. Menurut pandangan para feminis, gerakan yang diusung menitikberatkan pada analisis peranan hukum terhadap bertahannya hegemoni patriarki.
Oleh karena itu, feminisme bukanlah merupakan gerakan individualistik, golongan, atau bahkan kelompok sekalipun. Melainkan sebuah restorasi dalam perjuangan bersama, sehingga perlu kiranya para feminis tidak meletakkan kemuliaan perempuan atau laki-laki hanya pada tataran kesetaran hak dan kewajiban saja. Karena hal tersebut bisa berarti hanya menjadikan kuantitas dalam beraktivitas sebagai tolok ukurnya, tanpa menimbang pada kualitas pelaksanaan masing-masing aktivitas.
Karena seperti yang dikatakan Staff Pengajar Departemen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Rocky Gerung, feminism itu bukan jenis kelamin, melainkan jenis keadilan yang baru. Pria yang juga Peniliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi ini menjelaskan, bahwa seringkali istilah gender dan feminisme tidak kompatibel. Dikutip dari Tirto.id, ia mengatakan gender equality ini bias terjadi karena hasil daripada praktik utilitarian. Sehingga kesetaraan gender ada, tetapi tidak ada pemutusan ideologis dengan politik patriarki, patriarkisme masih dapat bekerja di dalam fasilitas gender equality karena terdapat kesalahan perspektif.
Di dalam gender equality, orang ingin menyetarakan hak melalui sebuah kebijakan, sedang pada feminism sendiri, kritiknya terletak pada bukan sekadar kesetaraan hak tetapi pada perubahan logika di dalam sebuah kebijakan. Jadi, feminism lebih tajam sifatnya karena ia menginginkan segala jenis praktik politik patriarki berakhir, oleh karena itu dalil filosofinya lebih radikal jika hanya dibandingkan gender equality. Pria kelahiran Kota Manado ini menyatakan prakti feminism di Indonesia masih pada tahap gender equality.
Jauh lebih dari itu, feminisme jika dipahami betul dengan kaidah dan norma yang tak lepas dari lingkup sosial budaya masyarakat Indonesia, akan mampu menjaga kualitas generasi penerus bangsa, karena tak bisa dipungkiri, hanya melalui rahim seorang perempuanlah tertumpu harapan lahirnya calon pemimpin-pemimpin dunia. (POUNDRA)
Pantau info terbaru perempuanriang.com di Google News