Judul Buku | : | Menua Dengan Gembira |
Penulis | : | Andina Dwifatma |
Penerbit | : | Shira Media |
Tahun Terbit | : | 2023 |
Jumlah Halaman | : | 140 halaman |
Menua Dengan Gembira merupakan buku kumpulan esai pertama dari Andina Dwifatma. Ia menyebut kumpulan tulisannya kali ini sebagai rasan-rasan tentang kehidupan warga pinggiran kota.
Buku ini memang bukan buku self improvement atau self healing tentang bagaimana cara menghadapi masa tua dengan bahagia. Namun berisi sekumpulan cerita hasil pengamatan Andina selama limabelas tahun tinggal di pinggiran Jakarta.
Ibukota dan segala kerumitannya diubah oleh Andina menjadi semacam lahan ide untuk berkisah. Mulai dari perkara-perkara yang terjadi di sekitar kompleks tempat tinggalnya, hingga masalah transportasi umum yang dihadapinya sehari-hari.
Andina mencoba memotret seluruh realitas sosial dan menceritakannya dengan cara yang ringan namun komprehensif. Andina begitu jenaka bertutur tanpa mengesampingkan substansi permasalahan yang coba diangkat.
Menua Dengan Gembira berisi 26 judul cerita yang dikisahkan ringan namun berbobot tanpa membuat pembaca perlu mengernyitkan dahi. Cerita-cerita yang diangkat merupakan paparan keseharian kaum urban diantaranya fenomena sosial, budaya, serta politik dengan segala ketimpangannya.
Misalnya munculnya fenomena kafe senja-senjaan yang berderet di Ciputat dan sekitarnya (Ngopi Sepanjang Jalan) atau ketergantungan orang terhadap ponsel (Dilema Smartphone).
Kritiknya pada persoalan transportasi kita (Apakah Kita Masih Perlu Ngantor) sampai kebijakan bekerja dari rumah yang justru akhirnya bisa jadi boomerang (WFH yang WTF).
Andina mengaku, tinggal di pinggiran ibukota membuatnya harus beradaptasi dengan persoalan hidup bertetangga yang cukup beragam.
Seperti tentang fenomena parkir yang kerap menimbulkan persoalan tersendiri (Numpang Parkir) maupun fenomena ibu-ibu kompleks yang berlomba berjualan daring sejak pandemi (Sebungkus Cireng di Status Whatsapp).
Membaca buku Menua Dengan Gembira seperti membaca kita. Membaca keseharian kita dengan segala persoalannya.
Andina kerapkali mengajak kita untuk lebih jeli mengamati dan sembari berkontemplasi seperti misalnya saat memahami persoalan transportasi di kota besar. Ia menyusupkan pertanyaan “Pernahkah anda berdesak-desakan dalam KRL sedemikian rupa sehingga keringat yang menetes dari belakang leher orang di depan anda bisa terlihat seperti slow motion beresolusi full ultra HD?”.
Tanpa sadar, memang realita inilah yang kerapkali dihadapi masyarakat di perkotaan setiap hari saat harus berjibaku menempuh perjalanan dengan transportasi umum.
Pesan yang coba disampaikan dalam setiap judul cerita, turut pula digenapi dengan ungkapan kritis nan satir. Seperti dalam cerita Yang Kalah Pindah Agama, sebuah paparan isu klasik yang terjadi di masyarakat kita.
Andina menyentil, “Jadi kapan persisnya kita mulai mengenal rasa curiga saat mulai bergaul dengan mereka yang berbeda? Kapan perasaan tidak nyaman itu pelan-pelan muncul dan mulai berubah menjadi semacam bentuk kehati-hatian yang sesungguhnya tidak mendasar?”
Satir juga disampaikan dalam cerita terakhir yaitu Di Pasar Malam. Andina menulis “Barangkali aset terbesar negara ini adalah orang-orang yang sudah cukup berbahagia dengan jajan di pasar malam, ngobrol ngalor ngidul sambil minum kopi instan dan membawa anak-anak mereka naik odong-odong lima ribuan. Sementara di atas sana semuanya berjalan seperti business as usual”.
Menua Dengan Gembira terinspirasi dari gaya penulisan beberapa nama besar diantaranya Myra Sidharta, Bondan Winarno, Mahbub Djunaidi, Brouwer dan Simon Carmigelt. Andina Dwifatma sebelumnya menulis novel Semusim, dan Semusim Lagi (2013) dan Lebih Senyap Dari Bisikan (2021).
Keduanya memenangi penghargaan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (2012) dan serta Buku Sastra Pilihan Tempo Kategori Prosa (2021).
Pantau info terbaru perempuanriang.com di Google News