Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasa Seksual atau RUU PKS masih ramai dibicarakan. Khususnya di sosial media, kelompok diskusi, grup WA, dan masih banyak lagi.
Dalam pembicaraan itu ada tokoh agama, politikus, dosen, hingga aktivis. Isu ini juga mewarnai banyak halaman berita. Dari isu potensi pelegalan zina, LGBT, sampai munculnya perspektif ketidaksuaian draft RUU PKS terhadap nilai-nilai pancasila, agama dan budaya Indonesia.
Celakanya, RUU PKS juga tumbuh menjadi isu yang mewarnai pertempuran para pendukung calon presiden. Kehadirannya mirip virus yang tumbuh subur bak komoditi politik. Akibatnya, sebagian dari kita malah lupa duduk bersama, baca draf dan cari solusi.
Draf RUU PKS telah diajukan sejak 26 Januari 2016 lalu. Artinya, sudah diwacanakan sejak tiga tahun lebih.
Saat ini, draft masih dalam pembicaraan TK 1 dan menjadi 1 dari 55 Prolegnas Prioritas DPR tahun 2015-2019. Partai pengusul ialah DPR dari Fraksi PDIP (Partai Demokrasi Perjuangan), PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), dan PAN (Partai Amanat Nasional).
Sebagai virus, isu RUU PKS harusnya cepat diredam. Bukan dipangkas, tapi disertai banyak penjelasan, agar tersosialisasi dengan benar.
Salah-satu inang yang bikin ia berkembang layaknya ancaman, yakni pernyataan dari Jazuli Juwaini, Ketua Fraksi PKS. Dikutip dari TribunJogja.com, sikap penolakan PKS (Partai Keadilan Sejahtera) terhadap draf RUU PKS didasarkan anggapan bahwa RUU PKS berpotensi bertentangan dengan agama dan nilai-nilai pancasila.
Terkait itu, saya akan mempreteli satu persatu lima sila. Supaya saya bisa memahami, apa yang dimaksud oleh Jazuli. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa: Esa berarti satu, yakni Tuhan itu satu.
Dari 184 Pasal di draf RUU KPS, tidak ada satu pasal pun yang menyinggung kata, apalagi keberadaan Tuhan. Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab: Pasal 1 ayat 1 RUU PKS menerangkan bahwa;
“Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik”
Dari penjelasan pasal tersebut, jelas kemanusiaan sangat ditekankan. Setiap individu diberi kuasa atas dirinya, tanpa ada paksaan dari pihak luar. Dan diperkuat pada bab dua, Asas dan Tujuan, Pasal 2 poin (a) yang berbunyi;
“Penghapusan kekerasan seksual didasarkan pada asas;
a. Penghargaan atas harjkat dan martbat manusia.
Sedangkan, kata adab jika direpresentasikan pada nilai sosial budaya Indonesia. Salah-satunya, tidak melakukan hubungan seksual diluar ikatan pernikahan. Berbeda, dengan negara liberal, semisal; Italia, Prancis, Jerman. Mereka tidak menganggap tabu seks di luar nikah. Maka saya beranggapan, kekhawatiran Jazuli, berkaitan pada sila kedua, kata adab. Karena dalam RUU PKS hanya mengatur segala tindak kekerasan seksual yang dilakukan atas dasar pemaksaan.
Sila ketiga, persatuan Indonesia. Kita tahu, Indonesia adalah Negara Bhineka, memiliki kultur berbeda dan tidak mungkin disatukan. Tapi, Penghapusan Kekerasan Seksual adalah hak bagi setiap manusia, tanpa memandang; agama, ras, suku dan lain-lain.
Maka sudah sepatutnya ini menjadi salah-satu alasan pemersatu bangsa. Sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
Saya memaknai kalimat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan adalah representasi dari sifat Demokrasi. Dan Permusyawaratan/Perwakilan adalah bentuk kebulatan dari hasil proses diskusi. Adanya RUU PKS menjadi bukti, bahwa telah ada kegiatan musyawarah dalam pembentukan drafnya.
Sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Meski adil bukan berarti sama, pengotakan Pidana pokok dalam draf RUU PKS Pasal 117, saya rasa kurang tepat. Siapapun pelaku kekerasan seksual. Baik penguasa, tokoh agama, tokoh masyarakat, maupun keluarga.
Mereka semua tetap predator seksual, dan harus menerima hukuman yang sepadan. Tanpa melihat status atu profesi pelaku. Tapi, saya sepakat terkait draf pasal 107 ayat 2 RUU PKS yang menerangkan tentang macam-macam pidana tambahan bagi pelaku. Termasuk pencabutan hak asuh, politik, kerja sosial dan lain-lain.
Memang benar draf RUU PKS harus dikaji lagi, agar benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Tapi penolakan Jazuli, selaku ketua Fraksi terhadap RUU PKS sangat disayangkan. Mengingat tingginya tingkat kekerasa seksual di indonesi. Tahun 2017 ada 348.446 kasus kekerasan seksual yang tercata di komnas perempuan.
Dikutip dari merdeka.com, dari 14 daftar negara teraman bagi perempuan. Indonesia meraih peringkat ke 14, berdasarkan survey value champion. Maka, saya merasa sangat penting RUU PKS disahkan, terkait adanya pro kontra dari berbagai pihak. Duduk dan mendiskusikannya bersama. Pasal mana yang dirasa kurang tepat atau perlu adanya tambahan, saya rasa lebih solutif.
Daripada saling melempar petisi atau melempar argumen di media-media. Karena bukan personal siapa yang paling benar, tapi Rakyat Indonesia harus aman dari kekerasan seksual.
oleh : Jihan Ristiyanti
Penulis adalah wartawan PerempuanRiang.com
Pantau info terbaru perempuanriang.com di Google News